Indonesia adalah negara agraris dengan
iklim subtropis. Di sinilah tumbuh dengan subur tanaman tebu dan bahkan
Indonesia dikenal dengan cikal bakal tebu dunia. Tebu adalah bahan baku dalam
pembuatan gula (gula kristal putih, white sugar plantation) di
pabrik gula. Pada musim giling 2008 terdapat 61 pabrik gula di Indonesia yang
aktif giling; yaitu 49 di Jawa, 8 di Sumatera dan 4 di Sulawesi. Pada umumnya
pabrik gula tersebut menggunakan proses sulfitasi, sisanya proses defekasi
remelt karbonatasi dan karbonatasi. Pada saat ini
sebagian besar pabrik gula di Indonesia menggunakan proses sulfitasi dalam
memurnikan nira.
Produksi tebu sekitar 34,5 juta ton dan gula yang dihasilkan sekitar 2,8 juta ton, dan telah mampu memenuhi konsumsi gula rumah tangga dalam negeri (sekitar 2,7 juta ton per tahun). Pada saat di Indonesia terdapat kurang lebih 60 Pabrik Gula yang beroperasi, dimana kebanyakan terdapat di Pulau Jawa khususnya Jawa Timur. Semua pabrik gula tersebut berbahan baku dari tanaman tebu. Tebu sangat efisien dalam merubah energi surya menjadi energi kimia. Dibandingkan dengan tanaman sejenis yang lain, tebu menghasilkan karbohidrat dan bahan kering jauh lebih tinggi. Walaupun bervariasi tetapi rata-rata dapat menghasilkan 50 ton bahan kering per hektar. Peluangnya untuk menjadi bahan baku industri kimia cukup besar, terutama karena karbohidrat merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharui. Pabrik gula di Indonesia pada tahun 2007 berjumlah 59 pabrik. Produksi tebu tahun 2008 untuk daerah Jawa Timur saja mencapai 17 juta ton.
Setiap musim giling, pabrik gula selalu
mengeluarkan limbah yang berbentuk cairan, padat dan gas. Limbah cair meliputi
cairan bekas analisa di laboratorium dan luberan bahan olah yang tidak
disengaja. Limbah padat meliputi ampas tebu, debu hasil pembakaran ampas di
ketel, padatan bekas analisa laboratorium, blotong dan tetes. Limbah gas
meliputi gas cerobong ketel dan gas SO2 dari cerobong reaktor pemurnian. Limbah
pabrik gula tersebut perlu ditangani dengan seksama dan serius agar tidak
mencemari lingkungan. Upaya penanganan limbah cair dilakukan melalui
elektrolisis cairan bekas analisa di laboratorium dan mengolah limbah cair yang
keluar dari pabrik gula dengan biotray. Penanganan limbah padat dilakukan
dengan cara menangkap debu hasil pembakaran ampas dengan dust collector dan
menanam atau membakar limbah padat bekas analisa di laboratorium ke tempat pembuangan.
Upaya pencegahan limbah cair dan gas melalui penggunaan bahan penjernih aman
lingkungan (PAL) dalam analisa di laboratorium, kontrol pembakaran ampas dan
control pemurnian nira. Upaya pemanfaatan limbah padat melalui pemanfaatan
ampas dan blotong sebagai bahan baku pupuk kompos, ampas untuk energi listrik
di perumahan dan tetes sebagai bahan baku industri etanol, spiritus dan vitsin.
Pemanfaatan kembali CO2 dari gas cerobong untuk pemurnian nira sebagai
pengganti gas SO2.
Tetes atau molasses merupakan produk sisa
(by product) pada proses pembuatan gula. Tetes diperoleh dari hasil pemisahan
sirop low grade dimana gula dalam sirop tersebut tidak dapat dikristalkan lagi.
Pada pemrosesan gula tetes yang dihasilkan sekitar 5 – 6 % tebu, sehingga untuk
pabrik dengan kapasitas 6000 ton tebu per hari menghasilkan tetes sekitar 300
ton sampai 360 ton tetes per hari. Walaupun masih mengandung gula, tetes sangat
tidak layak untuk dikonsumsi karena mengandung kotoran-kotoran bukan gula yang
membahayakan kesehatan. Penggunaan tetes sebagian besar untuk industri
fermentasi seperti alcohol, pabrik MSG, pabrik pakan ternak dll. Karena nilai
ekonomisnya masih cukup tinggi pabrik gula biasanya menjual tetes ke industri
lainnya. Secara umum tetes yang keluar dari sentrifugal mempunyai brix 85 – 92
dengan zat kering 77 – 84 %. Sukrosa yang terdapat dalam tetes bervariasi
antara 25 – 40 %, dan kadar gula reduksi nya 12 – 35 %. Untuk tebu yang belum
masak biasanya kadar gula reduksi tetes lebih besar daripada tebu yang sudah
masak. Komposisi yang penting dalam tetes adalah TSAI ( Total Sugar as Inverti
) yaitu gabungan dari sukrosa dan gula reduksi. Kadar TSAI dalam tetes berkisar
antara 50 – 65 %. Angka TSAI ini sangat penting bagi industri fermentasi karena
semakin besar TSAI akan semakin menguntungkan, sedangkan bagi pabrik gula kadar
sukrosa menunjukkan banyaknya kehilangan gula dalam tetes. Semakin kecil kadar
sukrosa maka penekanan kehilangan gula semakin optimum.
Tebu digiling kemudian diekstrak niranya,
hasil samping dari proses giling ini adalah ampas tebu. Rata – rata ampas yang
diperoleh dari proses giling 32 % tebu. Dengan produksi tebu di Indonesia pada
tahun 2007 sebesar 21 juta ton potensi ampas yang dihasilkan sekitar 6 juta ton
ampas per tahun. Selama ini ampas hanya digunakan sebagai bahan bakar boiler.
Apabila Pabrik gula dapat efisien dalam penggunaan bahan bakar maka ada potensi
ampas lebih. Potensi ampas yang berlebih dapat dimanfaatkan untuk diproses
sebagai produk turunan, seperti partikel board.
Pada pemrosesan gula dari tebu
menghasilkan limbah atau hasil samping, antara lain ampas, blotong dan tetes.
Ampas berasal dari tebu yang digiling dan digunakan sebagai bahan bakar ketel
uap. Blotong atau filter cake adalah endapan dari nira kotor
yang di tapis di rotary vacuum filter, sedangkan tetes merupakan
sisa sirup terakhir dari masakan yang telah dipisahkan gulanya melalui
kristalisasi berulangkali sehingga tak mungkin lagi menghasilkan kristal.
Rata-rata blotong dihasilkan sebanyak 3.8 % tebu atau sekitar 1.3 juta ton
blotong per tahun. Blotong dari PG Sulfitasi rata-rata berkadar air 67 % dan
kadar pol 3 %.Blotong merupakan limbah yang bermasalah bagi pabrik gula dan
masyarakat karena blotong yang basah menimbulkan bau busuk. Oleh karena itu
apabila blotong dapat dimanfaatkan akan mengurangi pencemaran lingkungan.
Sebelum dimanfaatkan kembali sebagai bahan
baku energi listrik, media kompos dan lain-lain, penanganan awal yang bijak
untuk sisa ampas (produksi ampas – ampas yang telah digunakan sebagai pembangkit
energi untuk proses) adalah dikempa terlebih dahulu menjadi bal (kubus). Hal
ini dilakukan untuk meningkatkan berat jenis ampas, kemudian diikat agar ampas
tidak mudah lepas berterbangan (mawur). Selanjutnya ampas bal siap untuk
digudangkan.
Penanganan debu hasil pembakaran ampas
dilakukan dengan cara menangkap debu tersebut dengan menggunakan dust
collector yaitu wetatau dry scrubber sebelum
keluar melalui cerobong ketel. Debu dan abu hasil pembakaran ampas ditanam
bersama dalam tempat pembuangan akhir kemudian disiram air. Hal ini dilakukan
agar debu dan abu tersebut aman terhadap lingkungan, menghindari kebakaran
karena dikhawatirkan abu masih mengandung bara api yang latent.
Penanganan awal untuk sisa blotong
(produksi blotong - blotong yang telah dimanfaatkan petani) perlu ditangani
dengan cara menanam ke dalam lubang pembuangan awal sebelum dimanfaatkan
kembali sebagai pupuk. Hal ini dilakukan untuk menghindari pandangan dan bau
yang tidak sedap.
Limbah cair bekas analisa gula di
laboratorium ditangani dengan cara mengumpulkan cairan (filtrat) tersebut untuk
di-elektrolisis agar logam berat menempel pada elektroda. Logam berat diambil
dari elektroda sebagai limbah padat. Bersama-sama dengan limbah padat bekas
analisa gula di laboratorium dan limbah padat lainnya ditanam bersama ke dalam
tempat pembuangan akhir. Selanjutnya limbah cair yang telah ditritmen
dinetralkan, kemudian bersama-sama dengan cairan lainnya (pendingin alat mesin
pabrik, luberan bahan olah yang tidak disengaja, air kebutuhan karyawan pabrik)
dikeluarkan dari pabrik dan dikirim ke tempat pengolahan limbah dengan
teknologi sistem Biotray. Sistem ini dapat mengolah air limbah
untuk dipakai kembali sehingga dapat mengurangi suplesi air segar sampai 0,6 –
1 M3 per ton tebu dan beban polutan dapat diturunkan sampai nihil.
Penyimpanan tetes tebu dalam tangki dapat
ditangani dengan cara mengantisipasi suhu tetes, yaitu sebelum dikirim ke
tangki tetes suhu tetes harus berkisar antara 35 – 40 oC.
Misalnya dengan cara melewatkan tetes tersebut melalui pendingin sehingga tetes
yang keluar dari pendingin tersebut berkisar 35 – 40 oC.
Sumber :
Eckenfelder, W.W. 1986. Industrial Water Pollution. Mc Graw Hill, New York.
Migo, V.P., M. Matsumura, E.J.D. Rosario dan H. Kataoka. 1993. Decolorization of Molasses Wastewate Using Inorganic Flocculant. J. Of Fermentation Bioengineering 75(6),438-442.
http://www.mipa.unej.ac.id/data/vol2no2/optimasi%20proses.pdf
Eckenfelder, W.W. 1986. Industrial Water Pollution. Mc Graw Hill, New York.
Migo, V.P., M. Matsumura, E.J.D. Rosario dan H. Kataoka. 1993. Decolorization of Molasses Wastewate Using Inorganic Flocculant. J. Of Fermentation Bioengineering 75(6),438-442.
http://www.mipa.unej.ac.id/data/vol2no2/optimasi%20proses.pdf